Kamis, 22 Oktober 2009

Pengubah Pasir Jadi Mutiara


Jansen Hulman Sinamo
Pengubah Pasir Jadi Mutiara

Pada tahun 1967 Gerhard Gschwandtber mengadakan riset mengenai kekecewaan dan menemukan bahwa di Library of Congress terdapat 1.500 judul buku mengenai kesuksesan sedangkan buku mengenai kekecewaan hanya 16 judul saja.

Ini mengherankan Gerhard karena observasi menunjukkan bahwa kekecewaan sesungguhnya merupakan pengalaman paling akrab dengan manusia ketimbang kegembiraan. Dukacita lebih sering terjadi daripada sukacita. Lalu mengapa topik kekecewaan begitu sedikit dibahas orang? Mengapa sukses dan sukacita yang jarang dirasakan dan dicapai orang mendapat perhatian begitu banyak?.

Menurut kamus Webster, kekecewaan adalah perasaan yang terjadi karena menginginkan sesuatu namun tidak mendapatkannya. Misalnya orangtua berharap putrinya menikah dengan pria baik-baik dari keluarga kaya dan terhormat, tetapi ternyata putrinya memilih kawin lari dan melahirkan anak di luar nikah dengan laki-laki brengsek; maka orangtua sangat kecewa. Orang bekerja jujur, rajin dan sungguh-sungguh, tetapi sejawatnya yang brengsek dan cuma pandai menjilat atasan malahan naik pangkat, maka orang juga kecewa. Orang membuka toko dan puluhan tahun bekerja keras dan berhemat mati-matian sehingga tokonya maju pesat, tetapi dalam sehari habis dijarah dan dibakar massa; maka orang sangat kecewa.

Begitulah orang bisa kecewa pada Bupati, kecewa pada Amerika, kecewa pada orangtua, kecewa pada anak, kecewa pada menantu, kecewa pada tetangga, kecewa pada kawan, kecewa pada suami, kecewa pada matahari, kecewa pada Soekarno-Soeharto-Habibie-Gus Dur, dan seterusnya. Bahkan orang pun bisa kecewa pada Tuhan.

Dua Macam Kekecewaan
Kekecewaan jenis pertama disebut kekecewaan bodoh.
Kekecewaan itu sesungguhnya tidak perlu terjadi. Tetapi terjadi juga karena kita bodoh. Akibatnya kegem-biraan kita yang wajar terampas, sukacita yang sudah di tangan hilang. Dengan bodohnya kita mau kecewa dan membiarkan hati kita larut dalam kepahitan dan dendam, amarah dan dukacita, stres dan depresi, benci dan sungut-sungut, fitnah dan kekerasan.

Sebab utama kekecewaan bodoh adalah harapan yang tidak realistik, ambisi yang tidak masuk akal, keinginan yang mustahil, ilusi dan impian di siang bolong. Secara umum, tidak semua keinginan kita tercapai. Ingatlah, Tuhan saja tidak memperoleh semua yang diinginkan-Nya. Buktinya, adalah keinginan Tuhan agar semua manusia masuk surga tetapi kita tahu ada banyak yang masuk neraka. Jadi, jangan bodoh dengan berharap semua keinginan Anda bisa tercapai.

Misalnya, orang berharap kaya raya dengan memasang lotere atau bermain judi, padahal kita tahu penjudilah yang biasanya bangkrut jatuh miskin. Orang berharap hidup bahagia, tenteram, dan terhormat dengan menuruti ajakan kawin seorang pria brengsek yang masih beristri dan beragama lain. Orang berharap hari tak pernah mendung, rezeki tak pernah seret. Orang berharap agar Tuhan menghukum orang yang dibencinya padahal rencana Tuhan lebih besar daripada keinginannya yang kadang egoistik.

Jelaslah bahwa semua harapan di atas too good to be true bahkan sebenarnya mustahil. Mudah dimengerti bahwa kekecewaan-kekecewaan seperti di atas terjadi karena kebodohan kita sendiri.

Secara fundamental semua ilusi di atas berakar pada empat keinginan:
1. Keinginan agar segala sesuatu terjadi sesuai dengan kehendak kita dan agar orang lain bertindak sesuai dengan keinginan kita. Ini tidak mungkin, karena Tuhan mengaruniakan kehendak bebas pada setiap orang, dan kehendak orang lain umumnya berbeda dengan kehendak kita.

2. Keinginan untuk selalu dicintai, disukai atau dikagumi oleh orang lain terutama orang yang dianggapnya penting. Ini tentu tidak realistik karena sikap dan pikiran orang lain berada di luar kendali kita.

3. Keinginan untuk selalu sukses setiap saat. Ini juga sulit karena untuk mencapai sukses, seseorang perlu melalui tahap kegagalan.

4. Keinginan agar faktor-faktor eksternal selalu mendukung usaha keberhasilan kita. Ini pun salah, kualitas diri kitalah yang menentukan apakah faktor-faktor luar itu mendukung atau menghambat kita.

Jadi agar kita terhindar dari kekecewaan bodoh, pertama-tama, hiduplah realistik, jangan berharap yang aneh-aneh.
Kedua, pelajarilah hukum alam dan kebenaran-kebenaran yang terkandung di dalamnya.
Ketiga, curigalah pada apa saja yang terlalu indah, terlalu muluk, atau terlalu gampang.
Biasanya di belakangnya pasti ada penipuan.

Keempat, ingatlah bahwa karya tangan Anda sendirilah yang akan membuat Anda senang, berkecukupan dan merasa bahagia.
Apa yang Anda terima dengan sangat gampang akan lenyap dengan sangat gampang pula.

Kelima, renungkanlah nasib orang-orang seperti Marcos, Shah Iran, atau Mobutu Sese Seko (di Indonesia nama seperti mereka juga ada) serta manusia-manusia serakah lainnya.

Kekecewaan yang Sehat
Lawan kekecewaan bodoh ialah kekecewaan yang sehat, yaitu ke-kecewaan yang Anda rasakan ketika rasa keadilan diinjak-injak, kebenaran dijungkirbalikkan. Ketika kebaikan dibalas kejahatan, kekejian mendapat pujian. Ketika kerja keras dilecehkan, penipuan dihargai. Ketika cinta tulus dibalas pengkhianatan, kasih suci diimbali dosa. Ketika orang malas naik pangkat, orang jujur disingkirkan. Ketika kebaikan disepelekan, kesucian diolok-olok. Ketika orang kaya diperkaya, orang miskin dipermiskin. Ketika konglomerat dilindungi, seluruh rakyat dicurangi.

Jika yang begini terjadi, maka kekecewaan adalah reaksi yang wajar. Bahkan jika Anda tidak marah dan kecewa ketika hal-hal di atas terjadi, saya berpendapat hati nurani Anda sudah gelap, kotor pekat, dan hitam kumuh.

Kekecewaan genuine seperti ini, selain sehat, juga berpotensi meng-ubah Anda menjadi orang besar. Kata orang bijak, kekecewaan seperti ini diberikan Tuhan agar "manusia biasa" dapat "menjadi manusia luar biasa". Tengoklah misalnya Abraham Lincoln. Hampir seluruh riwayat hidupnya diisi oleh rangkaian kegagalan dan kekecewaan. Tetapi ia selalu bangkit. "Tidak penting berapa kali engkau gagal," kata Lincoln, "yang penting berapa kali engkau bangkit." Ujung-ujungnya dia berhasil menjadi presiden pada tahun 1861, dan dicatat sebagai presiden Amerika terbesar.

Untuk mengubah rasa kecewa jenis ini menjadi energi yang positif, menjadi motivasi yang kuat, berikut adalah sejumlah saran:

1. Ketika Anda dilanda kecewa, carilah penghiburan sejati agar hati Anda lebih ringan, misalnya musik, jalan-jalan, tidur panjang, atau cuti. Jika hati Anda sudah enteng, sudah terhibur, maka pikiran rasional akan kembali, dan perspektif Anda menjadi lebih baik.

2. Hindari pelarian. Pelarian umum dari kekecewaan adalah gila kerja (workaholik), obat bius, alkohol, agresi dan balas dendam, makan berlebihan, merokok berlebihan, melamun serta bermuram durja.

3. Bicarakan kekecewaan Anda dengan seseorang yang cerdas emosinya, teman yang bersikap simpatik dan empatik, dan bersikap dewasa dan dapat dipercaya.

4. Ungkapkan kekecewaan Anda dalam bentuk tulisan, misalnya catatan harian atau karangan. Atau jika Anda berjiwa seni gubahlah kekecewaan Anda menjadi sebuah musik atau syair. Inilah yang dilakukan Eric Clapton, menggubah lagu Tears in Heaven, ketika ia menyikapi musibah anaknya yang tewas terjatuh dari apartemen bertingkat.

5. Ungkapkan kekecewaan Anda kepada Tuhan dalam bentuk doa.

6. Cari petunjuk dari seseorang sudah mampu mengatasi kekecewaan serupa.

7. Baca dan renungkanlah kisah orang-orang besar, terutama tentang bagaimana mereka mampu mengatasi kepahitan dan kekecewaan dalam hidup mereka. Misalnya orang seperti Mahatma Gandhi yang ditendang dari kabin kereta api kelas satu hanya karena kulitnya tidak putih, kemudian berubah menjadi pejuang gerakan emansipasi tanpa kekerasan (satyagraha) yang kelak mampu mengusir penjajah Inggris dari bumi India;

Nelson Mandela yang keluar dari penjara selama 29 tahun tanpa dendam dan sakit hati, serta mampu berdamai dengan penjajah kulit putih, bahkan bekerjasama meruntuhkan sistem aphartheid di negerinya, dan kemudian menjadi presiden demokratis Afrika Selatan pertama yang berkulit hitam pada usia 76 tahun;

Atau Thomas Alva Edison yang pabrik dan laboratoriumnya terbakar habis namun sanggup mengangumi kobaran api yang hebat itu, seraya berkata, "Biarlah semua ini terbakar habis karena sekarang kita berkesempatan membangun gedung yang lebih modern dan lebih besar."

Contoh lain adalah William Soerjadjaya, mantan pemilik Grup Astra yang kehilangan kerajaan bisnisnya tetapi masih tetap mampu tertawa sambil mengisap cerutu kesayangannya, serta sanggup memulai bisnis baru di usia lanjutnya.

Juga Kuntoro Mangkusubroto yang dipecat oleh atasannya, Menteri Pertambangan dan Energi di zaman Kabinet Pembangunan VI (antara lain) gara-gara kasus Busang, tetapi tetap berpikir positif konstruktif, bahkan kemudian terpilih menjadi menteri menggantikan sang pemecatnya setahun kemudian.

Dan jangan lupa Abdul Harris Nasution yang disingkirkan oleh Soeharto secara sistematik sejak 1966, mampu bertahan selama 32 sampai usia lanjut, menulis puluhan buku tebal, menjadi mentor moral bagi banyak orang, mencapai status Jenderal Besar, penuh karisma, sanggup berdamai dengan Soeharto, dan masih sempat menyaksikan tragedi kejatuhan mantan musuhnya itu.

Orang-orang Dekat yang Mengecewakan
Yang paling sering mengecewakan Anda pastilah orang-orang dekat. Terhadap mereka, pasanglah sikap zero expectation (harapan nol). Artinya jika Anda berbuat baik jangan harapkan imbalan, apalagi menuntut kebaikan setimpal. Jadi jika Anda berbuat baik, lakukanlah dengan tulus.

Terima kasih pun jangan harapkan. Sadarilah, dunia ini memang bukan dunia yang adil. Ingatlah, para nabi pun selalu dicurigai bahkan dihujat dan dikejar-kejar. Artinya, para nabi pun tidak sanggup menyenangkan semua orang. Bergembiralah bahwa Anda masih bisa memberi dan sanggup berbuat baik. Itu saja adalah sebuah kehormatan.

Dan ketahuilah, jika penerima kebaikan Anda sampai lupa berterima kasih, Tuhan akan membalaskan kebaikan Anda berlipat ganda. Jika bukan Anda yang menerimanya, keturunan Anda kelak pasti menerima balasan Tuhan yang baik itu.
Namun jika orang yang Anda baiki itu ingat berterimakasih dan membalas perbuatan baik Anda, jangan pula ditolak, tetapi terimalah sebagai bonus, dan karenanya bergembiralah dua kali. Dan jika kebaikan Anda dibalasnya lebih besar, terimalah itu sebagai mukjizat, jadi bergembiralah tiga kali.

Jika orang yang Anda baiki itu bersikap keterlaluan, artinya Anda tidak sanggup lagi bersikap baik padanya, sudahlah, jauhi saja dia. Putuskan hubungan dengannya tanpa terjebak dalam kebencian dan dendam kesumat. Batasi diri, jaga jarak. Kalau Anda mampu, doakanlah orang brengsek itu. Jika doa Anda tidak layak diterimanya, doa tersebut akan kembali pada Anda. Jika tidak sanggup mendoakannya, jangan pula mengutuknya. Anda harus hati-hati, karena dapat terjadi kutuk Anda malah mengenai Anda sendiri. Jadi, serahkan saja agar keadilan Tuhan yang berlaku.

Selanjutnya, jangan memelihara karakter meminta, menuntut dan mengemis untuk diri sendiri. Jika Anda harus meminta atau menuntut, maka minimal hal itu demi kepentingan bersama; kalau bisa demi kepentingan dia yang Anda tuntut; tapi jangan pernah untuk diri sendiri.

Sebaliknya suburkanlah karakter memberi, membagi dan berbagi. Anggaplah Anda sebagai wakil Tuhan (khalifah) untuk membagi-bagikan rezeki dan nikmat surgawi kepada sesama. Ingat, perintah Tuhan ialah agar kita menjadi rahmatan lil alamin, menjadi rahmat dan berkat bagi sesama, bahkan bagi segenap alam. Akan tetapi jangan terlalu ekstrim. Jangan sampai, misalnya, susu buat anak sendiri distop gara-gara terlalu bersemangat membantu anak tetangga. Jangan sampai belanja istri dikorting habis untuk menjamu kawan di restoran. Yang seperti itu bisa-bisa adalah bentuk kesombongan baru yang pada suatu saat akan berbalik mengecewakan Anda.

Jika Hal yang Buruk Terjadi Pada Orang Baik
Secara umum masalah berkepanjangan memang membunuh motivasi kita, melemahkan semangat hidup kita. Tetapi yang terutama menghancurkan semangat hidup adalah kemalangan atau hal-hal buruk yang terjadi pada kita, padahal kita merasa tidak berbuat apa-apa terhadap penyebabnya. Artinya kita tidak bersalah. Umpamanya, tiba-tiba toko kita dijarah orang; tiba-tiba anak kita yang masih kecil, yang belum mengenal dosa, direnggut oleh maut secara kejam. Inilah kondisi yang saya sebut sebagai "hal yang buruk terjadi pada orang baik."

Reaksi yang lumrah ialah menolak kenyataan ini. Kita tidak terima, dan bentuknya bisa macam-macam, misalnya menangis dan meratap, mogok bekerja, mogok makan, mogok sembahyang, atau absen ke rumah ibadah.

Reaksi berikutnya ialah mencari penyebabnya pada level transendental. Maksudnya, orang mencoba mencari perspektif Tuhan atas peristiwa buruk yang dialaminya. Mencoba mencari kesalahan dan dosa yang mungkin diperbuatnya. Sayangnya, pencarian seperti ini jarang dilakukan orang. Lebih sering, orang mencari kambing hitam dan karenanya menemukan banyak kambing. Ini memang jalur yang salah. Akibat lanjutannya, orang mulai menggerutu, mengeluh, dan protes.

Bentuk protesnya ada dua macam. Pertama, merusak diri sendiri, misalnya menjadi peminum alkohol dan konsumen obat-obat berbahaya. Kedua, merusak lingkungan, misalnya membanting piring dan gelas, mengusir ipar yang tinggal di rumah, atau menyepak kucing yang berani lewat di depannya.

Seyogianya, kita harus bisa lulus lorong transendental tadi dan menjadi bijak. Langkah pertama ke arah ini ialah menerima kenyataan. Walaupun terasa tidak adil, terimalah dengan hati lapang, dengan iman bahwa peristiwa ini belumlah akhir segala sesuatu. Ingat, bahwa hidup ini lebih besar daripada semua masalah yang kita hadapi, daripada semua kegagalan yang kita alami. Penerimaan total 100 persen dengan hati lapang mungkin sulit terjadi, karena peristiwa seperti ini memang kental mengandung misteri. Tetapi justru inilah kenyataan lain, hidup ini memang penuh misteri.

Karena itu, sedikit atau banyak kita akan memasuki tahap cemas. Kecemasan ini timbul karena kita belajar menerima kenyataan tetapi kita tidak sepenuhnya mengerti mengapa kesedihan dan kemalangan itu harus menimpa kita -- serta ditambah lagi -- tidak ada jaminan bahwa peristiwa serupa tidak akan terulang di masa depan.

Tetapi sesungguhnya kecemasan mengandung rahmat yang besar. Kita perlu selalu ingat bahwa kecemasan tidak pernah mematikan manusia. Dan tampaknya, kecemasan adalah bagian dari takdir kemanusiaan kita. Kita cemas karena berbagai sebab. Tetapi kita harus hidup bersama kecemasan-kecemasan kita.

Kecemasan Sidharta Gautama sekitar 2500 tahun lalu misalnya, bersumber pada fakta adanya penyakit, penuaan, dan kematian. Dia mengamatinya, memikirkannya, merenungkannya, tetapi tidak seluruhnya dia fahami. Apalagi menawarkan solusinya. Dan dia pun cemas. Tetapi karena dia tidak lari dari kecemasannya, malah menghadapinya dengan radikal dan gagah berani maka akhirnya Sidharta mengalami pencerahan (enlightentment). Gautama pun menjadi Buddha. Dia berbeda, dan duniapun jadi berbeda karena dia, karena pergumulannya.

Sidharta memilih tinggal bersama kecemasannya. Dia menggumulinya secara intensif. Dia juga tidak membiarkan dirinya tertipu oleh aneka kepalsuan yang timbul karena kecemasannya itu. Sidharta tidak lari dari kebimbangannya. Ia bertarung bersama kecemasannya, dan dengan demikian ia mengubah kecemasannya menjadi roh yang melayani dirinya untuk meraih tujuan-tujuan yang ingin ia capai. Sidharta menjadi bijak, dan duniapun menjadi bijak karena dia, karena pergumulannya.

Maka tidak salah jika orang berkata, bad weather makes good timber, angin ribut menjadikan pohon bertambah kuat dan baik. Hal yang sama terjadi dengan Kim Dae Jung, presiden Korea Selatan kini, sesudah melalui lorong transendental dan sel penjara bertahun-tahun. Ia menjadi bijak karena penderitaannya.

Demikian pula Martin Luther King di Amerika, menerima dan menghadapi persoalan kaumnya yang berkulit hitam, mengambil sikap berani, lalu mengalami transformasi menjadi pembebas dan pahlawan.

Dengan hati mantap diteguhkannya hati kaumnya, orang Negro, dengan berkata, "Kita adalah veteran penderitaan. Karena itu teruslah berjuang dengan topangan keyakinan bahwa penderitaan yang kita alami, namun bukan karena kejahatan kita, pada akhirnya akan menjadi penebusan kita."

Martin Luther King berhasil mengubah penderitaan kaumnya selama ratusan tahun menjadi semangat luar biasa untuk membebaskan jutaan kaum berkulit hitam dari keterpurukan dan menjadi semangat baru untuk melayani orang Negro meraih harga diri dan martabat mereka yang agung ke depan.

***
Kisah Anak Kerang
Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengaduh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek. Anakku, kata sang ibu sambil bercucuran air mata, Tuhan tidak memberikan pada kita bangsa kerang sebuah tanganpun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu. Sakit sekali, aku tahu anakku.

Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat, kata ibunya dengan sendu dan lembut.

Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun lamanya.

Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar. Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar. Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna.

Penderitaannya berubah menjadi mutiara; air matanya berubah menjadi sangat berharga. Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.

***
Cerita di atas adalah sebuah paradigma yang menjelaskan bahwa penderitaan adalah lorong transendental untuk menjadikan "kerang biasa" menjadi "kerang luar biasa".

Dengan itu saya hendak mempertegas salah satu tesis saya dalam buku ini bahwa kekecewaan dan penderitaan dapat mengubah "orang biasa" menjadi "orang luar biasa". Itulah yang terjadi pada orang-orang seperti Sidharta Gautama, Abraham Lincoln, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Kim Dae Jung, dan A.H. Nasution. Jadi jika Anda sedang menderita hari ini, apa pun sebabnya, saya sarankan: bersiap-siaplah menjadi "orang luar biasa".

Juga bersiap-siaplah menjadi orang bijak. Orang bijak adalah orang yang sudah mampu memahami kehidupan secara lebih integral, mengenal kepalsuan-kepalsuannya, paradoks-paradoknya, dan menemukan hakikat kehidupan itu sendiri.

*) Jansen H Sinamo, Direktur Jansen Sinamo WorkEthos Training Center. Dapat dihubungi langsung di jansen@institutmahardika.com